Nabi Ibrahim as adalah figur yang sangat ta’at menjalankan perintah Allah. Demikian juga putranya Nabi Ismail as, yang mana pada masa itu belum menjadi Nabi.
Setelah keduanya sepakat untuk menjalankan perintah Allah, dengan hati yang sedih dan linangan air mata maka, Nabi Ibrahim membawa putranya yaitu Nabi Ismail ke Mina dan membaringkannya di atas pelipisnya. Saat-saat penuh kesedihan itu, Nabi Ismail lantas mengatakan pada ayahnya dengan penuh keikhlasan.
Artinya, “Wahai ayahku! Kencangkanlah ikatanku agar aku tidak lagi bergerak, singsingkanlah bajumu agar darahku tidak mengotori, dan (jika nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya ia akan bersedih, percepatlah gerakan pisau itu dari leherku, agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu sangat dahsyat. Apabila engkau telah kembali maka sampaikanlah salam (kasihku) kepadanya.” (Ungkapan tersebut terdapat dalam Tafsir Al-Wasith karangan Syekh Muhammad Sayyid Ath-Thanthawi)
اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ، وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ
Setelah mendengar ucapan anaknya yang sangat baik dan taat, dengan dipenuhi perasaan sedih dan berlinanglah air mata, Nabi Ibrahim tidak bisa menahan air matanya untuk tidak mengalir, namun demikian beliau tetap tegar karna harus menjalankan perintah Allah.
Padahal beliau sangat menyayangi anaknya. Beliau harus merelakan anaknya untuk dijadikan kurban saat itu. Begitupun dengan Nabi Ismail as beliau sangat mencintai dan menyayangi ayah dan ibunya. Namun demikian perintah Allah yang harus diutamakan.
Jama’ah sholat Idul Adha yang dirahmati Allah,
Nabi Ibrahim as segera melakukan apa yang telah disampaikan putranya. Kemudian Nabi Ibrahim menciumnya dengan penuh kasih sayang dan linangan air mata, akhirnya beliau mengambil pisau untuk menyembelihnya.